DIPOSKAN OLEH أحمد زرقاني JUMAT, 11
NOVEMBER 2011
Di kampung miskin di kota
Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi Palestina, pada th. 150 H
(bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang bayi lelaki dari pasangan suami
istri yang berbahagia, Idris bin Abbas Asy-Syafi’i dengan seorang wanita dari
suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i . Demikian nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan
keluarga miskin ini dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama.
Karena beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan,
yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi lelaki
yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu sangat menyayangi
bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh sebagai bayi yang sehat. Maka
ketika ia telah berusia dua tahun, dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk
tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim
ini, dari sisi nasab ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
bernama Syafi’ bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat tertawan dalam
perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib menebus dirinya dengan
uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Dan
setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Maka nasab bayi yatim ini
secara lengkap adalah sebagai berikut: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin
Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay
bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin
Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari nasab
tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i,
adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kemudian juga saudara kandung
Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi
oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya
Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radhiyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga
terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i Al-Mutthalibi. Dengan
demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammadshallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani
Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani
Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil
beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66).
Di lingkungan Bani
Al-Mutthalib, beliau tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh vitalitas. Di usia
kanak-kanaknya, beliau sibuk dengan latihan memanah sehingga di kalangan teman
sebaya beliau, beliau amat jitu memanah. Bahkan dari sepuluh anak panah yang
dilemparkan, sepuluh yang kena sasaran, sehingga beliau terkenal sebagai anak
muda yang ahli memanah. Demikian terus kesibukannya dalam panah memanah
sehingga ada seorang ahli kedokteran medis waktu itu yang menasehati beliau.
Dokter itu menyatakan kepada beliau: “Bila engkau terus menerus demikian, maka
sangat dikuatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau
terlalu banyak berdiri di bawah panas terik mata hari.” Maka mulailah beliau
mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar bahasa Arab
dan menekuni bait-bait sya’ir Arab sehingga dalam sekejab, anak muda dari
Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya dalam usia
kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qur’an, sehingga pada usia
tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur’an keseluruhannya.
Demi merasakan manisnya ilmu,
maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, beliau mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Dalam usia beranjak
remaja ini beliau belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah,
seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti
Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga
belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga
menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadh dan
masih banyak lagi yang lainnya. Beliau pun semakin menonjol dalam bidang fiqih
hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’
fiqih sebagaimana tersebut di atas. Beliau pun demi kehausan ilmu, akhirnya
berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di halaqah
Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, beliau telah menghafal dan
memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .
Kecerdasannya membuat Imam
Malik amat mengaguminya. Sementara itu Imam Syafi`i sendiri sangat terkesan dan
sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di
Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan
pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan
Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau
menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik
di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga
sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam
Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat
setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .”
Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau di atas
dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin
Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, beliau juga duduk
menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti
Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta
dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab
Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal
lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai
Imam Syafi`i, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak lagi menyebut nama
Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika Muhammad bin Idris
As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua puluh tahun, beliau sudah
memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Ulama’ di jamannya dalam berfatwa
dan berbagai ilmu yang berkisar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi beliau
tidak mau berpuas diri dengan ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat
menuju negeri Yaman demi menyerap ilmu dari para Ulama’nya. Disebutkanlah
sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin
Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman,
beliau melanjutkan tourilmiahnya
ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil
ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Sejak di kota Baghdad, Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i mulai dikerumuni para muridnya dan mulai menulis
berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai membantah beberapa keterangan para
Imam ahli fiqih, dalam rangka mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kitab
fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di dunia Islam
yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum dengan ilmunya
sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau untuk menimba
ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini yang mendatangi majelis beliau
untuk menimba ilmu padanya seperti Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi
(beliau ini adalah salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim
bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali),
Sulaiman bin Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim
bin Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul
Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ),
Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh
Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an adalah
makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani,
Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh ilmu yang
lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad, yang paling terkenal sangat
mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam
Hanbali.
Diriwayatkan oleh Al-Imam
Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
(putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: .”
Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats menyatakan: “Aku melihat bahwa
Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada
As-Syafi`i.” Al-Maimuni meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: “Aku tidak
pernah meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam
orang. Salah satunya ialah untuk Imam As-Syafi`i.” Diriwayatkan pula oleh Imam
Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): “Pernah ayahku berjalan di
samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`i untuk bertanya-tanya ilmu
kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma’ien sahabat ayahku mengirim
orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan kepadanya: kuniah bagi Imam Hanbali), mengapa
engkau ridha untuk berjalan dengan keledainya As-Syafi`i?>. Maka ayah pun
menyatakan kepada Yahya:kuniah bagi
Yahya bin Ma’ien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu,
niscaya akan lebih bermanfaat bagimu>.”
Di samping Imam Hanbali yang
sangat mengaguminya, juga diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dengan sanadnya dari
Abu Tsaur. Dia menceritakan: “Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada
As-Syafi`i, dan waktu itu As-Syafi`i masih muda belia. Dalam surat itu
Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang
terdapat padanya makna-makna Al Qur’an, dan juga mengumpulkan berbagai macam
tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan Ulama’)
sebagai hujjah / dalil, keterangan hukum yang nasikh (yakni hukum yang
menghapus hukum lainnya) dan hukum yang mansukh (yakni hukum yang telah dihapus
oleh hukum yang lainnya), baik yang ada di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Maka Imam Syafi`i muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan
kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman bin Mahdi. Begitu membaca kitab Ar-Risalah ini,
Abdurrahman menjadi sangat kagum dan sangat senang kepada Imam Syafi`i sehingga
beliau menyatakan: “Setiap aku shalat, aku selalu mendoakan Imam Syafi`i.”
Kitab Ar-Risalah karya
Imam Syafi`i akhirnya menjadi kitab rujukan utama bagi para Ulama’ dalam ilmu
Ushul Fiqih sampai hari ini. Pujian para Ulama’ dan kekaguman mereka bukan saja
datang dari orang-orang yang seangkatan dengan beliau dalam ilmu, akan tetapi
datang pula pujian itu dari para Ulama’ yang menjadi guru beliau. Antara lain
ialah Sufyan bin Uyainah, salah seorang guru beliau yang sangat dikaguminya.
Sebaliknya Sufyan pun sangat mengagumi Imam Syafi`i, sampai diceritakan oleh
Suwaid bin Said sebagai berikut: “Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan
bin Uyainah. Imam Syafi`i datang ke majelis itu, masuk sembari mengucapkan
salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan
ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati.
Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan Imam Syafi`i
mendadak pingsan. Orang-orang di majelis itu menyangka bahwa Imam Syafi`i
meninggal dunia sehingga peristiwa ini dilaporkan kepada Sufyan: . Maka Sufyan pun menyatakan: .”
Demikian pujian para Ulama’ yang sebagiannya kami nukilkan dalam tulisan ini
untuk menggambarkan kepada para pembaca sekalian betapa beliau sangat tinggi
kedudukannya di kalangan para Ulama yang sejaman dengannya. Apalagi tentunya
para ulama’ yang sesudahnya.
ImamSyafi`i tinggal di Baghdad
hanya dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai
beliau wafat pada th. 204 H dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah
meninggalkan warisan yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam
ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`i ,
berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau;
dan kitab Al-Um berupa
kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat
keterangan Imam As Syafi`i dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan
diberi namaMa’rifatul Aatsar was
Sunan . Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat
nasehat dan pernyataan Imam As-Syafi`i dalam berbagai masalah yang menunjukkan
pendirian Imam As-Syafi`i dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat Abu Nu’aim
tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`i menyatakan:
“Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz
9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi
penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam As-Syafi`i menyatakan:
“Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang
oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu
kalam.” (HR. Abu Nu’aim
Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz
9 hal. 111)
Beliau menyatakan juga:
“Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam Ilmu Kalam dan hawa
nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.”
Ini menunjukkan betapa anti
patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang membahas perkara Tauhid
dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin
Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`i berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa
Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz
9 hal. 113)
Diriwayatkan pula oleh Abu
Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`i telah mengkafirkan seorang tokoh
ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan
di hadapan beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam
As-Syafi`i dalam menilai mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Dan memang para Ulama’ Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah sepakat untuk
mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Al-Imam Adz-Dzahabi
meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithi yang menyatakan: “Aku
bertanya kepada Imam Syafi`i: Maka
beliau pun menjawabnya: .
Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka
beliau pun menjawab: .”
Demikian Imam As-Syafi`i
mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid’ah seperti yang disebutkan contohnya dalam
pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang mengikuti aliran Rafidhah yang di
Indonesia sering dinamakan Syi’ah. Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian
mereka kepada para Shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu Bakar dan
Umar. Di samping Rafidhah, masih ada aliran bid’ah lainnya seperti Qadariyah
yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman yang keenam
(yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah Ta`ala). Juga aliran Murji’ah yang
menyatakan bahwa iman itu hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak
termasuk dari iman. Murji’ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah
dengan perbuatan ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan
kemaksiatan kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan
bagi Imam As-Syafi`i untuk melarang orang shalat di belakang imam yang berpandangan
dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`i juga amat
keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni
mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga meninggalkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi
pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh beliau dalam beberapa pesan sebagai
berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim
Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya
dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya:
“Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i
berkata: .”
Demikianlah para Ulama’
bersikap tawadhu’ sebagai kepribadian utama mereka. Sehingga tidak menjadi
masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat dari muridnya dan muridnya yang
diambil manfaat oleh gurunya tidak pula kemudian menjadi congkak dengannya.
Tetap saja sang murid mengakui dan mengambil manfaat dari gurunya, meskipun
sang guru mengakui di depan umum tentang ketinggian ilmu si murid. Guru-guru
utama Imam Syafi`i, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan
terang-terangan mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`i. Bahkan Imam Sufyan bin
Uyainah banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`i saat Imam Syafi’i ada di
majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`i duduk di majelis itu sebagai salah satu
murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu mengerumuni
Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun demikian, Imam
Syafi`i tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya. Beliau tetap mendatangi majelis
gurunya dan memuliakannya. Di samping itu, hal yang amat penting pula dari
pernyataan Imam Asy-Syafi`i kepada Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas,
menunjukkan kepada kita betapa kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada
hadits shahih untuk menjadi pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits
shahih itu berasal.
Imam Syafi`i menyatakan pula:
“Semua hadits yang dari Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallammaka itu adalah sebagai omonganku.
Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian beliau memberikan
patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih itu adalah dalil yang sah
bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka pendapat dari siapapun bila
menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits
shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang demikianlah yang harus digugurkan
dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya.
P e
n u t u p :
Masih banyak mutiara hikmah
yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari peri hidup Imam Asy-Syafi`i.
Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak cukup halaman yang tersedia untuk
memuat segala kemilau mutiara hikmah peri hidup beliau itu. Bahkan telah
ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang
berisi untaian mutiara hikmah peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam
Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus
Syafi`i , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian
Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus
Syaafi’i . Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan
kepada kita, betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di hari
kiamat nanti. Amin ya Mujibas
sa’ilin .
Daftar Pustaka:
1. Tarikh Baghdad , Al-Khatib
Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 58 – 59, Darul Fikr – Beirut Libanon, tanpa tahun.
2. Hilyatul Awliya’
Wathabaqatul Asfiya’ , Abu Nu’aim Al-Ashfahani, jilid 9 hal 65 – 66. Juga hal.
67, Darul Fikr, Beirut – Libanon, et. 1416 H / 1996 M. Lihat pula Tahdzibul
Kamal jilid 24 hal. 358 – 360. Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf
Al-Mizzi, diterbitkan oleh Mu’assatur Risalah, cet. Pertama th. 1413 H / 1992
M.
3. Tarikh Baghdad , Al-Khatib
Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 60.
4. Ibid, hal. 63.
5. Hilyatul Awliya’ ,
Al-Hafidh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Asfahani, jilid 9 hal 70, Darul Fikr
Beirut Libanon, cet. Th. 1416 H / 1996 M.
6. Siar A’lamin Nubala’ ,
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 6 –
7, Mu’assasatur Risalah, cetakan ke 11 th. 1417 H / 1996 M.
7. Tahdzibul Kamal fi Asma’ir
Rijal , Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, jilid 24
hal. 271.
8. Siar A’lamin Nubala’ ,
Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 18. Juga Abu Nu’aim Al-Asfahani meriwayatkannya
dalam Hilyatul Auliya’ juz 9 hal. 95.
9. Hilyatul Auliya’ , Abu
Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal 109 – 113.
10. Siar A’lamin Nubala’ ,
Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 31.
11. Hilyatul Auliya’ ,
Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal. 170.
12. Demikian diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi dalam Manaqib nya dan Ibnu Asakir dalam Tarikh nya dan dinukil oleh
Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 17.
13. Diriwayatkan dalam
Aadaabus Syafi`i dan Al-Bidayah . Adz-Dzahabi menukilkan riwayat ini dalam Siar
A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 35.
0 komentar:
Posting Komentar